PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Wahyu
merupakan firman dari Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul untuk
kemudian disampaikan kepada umat manusia. Wahyu ini yang dijadikan pedoman
dalam kehidupan manusia. Seperti dijelaskan pada hadis karya al-Kulaini yang mempunyai
arti “Sesungguhnya Allah SWT telah
menurunkan dalam al-Qur’an penjelasan segala sesuatu, sehingga, demi Allah, Dia
tidak melewatkan sesuatupun yang dibutuhkan hamba-hamba-Nya, juga sehingga
seseorang tidak mampu mengatakan: Kalaulah ini diturunkan dalam al-Qur’an,
kecuali Allah telah menurunkannya didalamnya”.[1]
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk atau
penjawab tentang persoalan hidup manusia didunia. Seperti wahyu Allah yang
diturunkan melalui Nabi dan Rasul maka kita harus mengetahui tentang perjalanan
bagaimana proses pewahyuan itu terjadi.
Seperti
kita ketahui bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad
adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang menyepi
di Gua Hira dan Nabi Muhammad berusia 50 tahun ketika menerima wahyu dari Allah
SWT melalui malaikat Jibril.[2]
- RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari wahyu?
2.
Bagaimana proses turunnya wahyu?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Wahyu
Secara etimologis, kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu yang memiliki beberapa arti,
diantaranya isyarat, tulisan, risalah,
ilham, bisikan yang bersifat tersembunyi yang disampaikan satu pihak kepada
pihak lain. Secara kebahasaan, wahyu dapat terjadi dalam penyampaian makna,
isyarat, atau ketetapan secara rahasia dan cepat dari Allah SWT kepada
makhluknya, manusia, hewan, atau alam. Wahyu Allah SWT kepada manusia secara
riil disampaikan kepada para rasul, para nabi, para wali, dan boleh jadi kepada
manusia biasa, boleh jadi pula langsung atau melalui utusan malaikat Jibril. Dan
yang langsung, boleh jadi wahyu dari balik tabir dan boleh jadi dalam bentuk
ilham atau dalam mimpi. Wahyu Allah SWT kepada manusia secara garis besar ada
tiga kemungkinan, Allah SWT berfirman:

“Dan
tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. Asy-Syura’
[42]: 51)
Dari
ketiga kemungkinan wahyu diatas, dapat dipahami bahwa segala bentuk informasi
(kalam) yang disampaikan Allah kepada manusia tercakup dalam makna wahyu.
Kemudian menyangkut wahyu kepada para nabi dan rasul melalui perantara Jibril.
Dalam al-Qur’an kata wahyu diulang sebanyak 78 kali, dalam bentuk kata
benda (ism) sebanyak 6 kali dan dalam
bentuk kata kerja sebanyak (fi’l)
sebanyak 72 kali. Kata wahyu tersebut memiliki beberapa arti:
1)
Ilham naluriah bagi manusia (ilham al-garizi
li al-insan), seperti wahyu terhadap Ibu Nabi Musa supaya menyusui Musa (Q.S.
al-Qasas [28]: 7).
2)
Ilham naluriah bagi binatang (ilham al-garizi
li al-hayawan), seperti wahyu kepada lebah untuk membuat sarang di bukit-bukit,
pohon-pohon dan di rumah-rumah yang didirikan manusia (Q.S. al-Nahl [16]: 68).
3)
Isyarat yang cepat dalam bentuk lambang dan
petunjuk, seperti isyarat Nabi Zakaria kepada kaumnya untuk mengagungkan
Tuhannya pada waktu pagi dan petang (Q.S. Maryam [19]: 11).
4)
Bisikan dan tipu daya setan untuk mengajak
manusia berbuat kejahatan (Q.S. al-An’am [6]: 112).
5)
Perintah Tuhan kepada malaikat supaya
melaksanakannya (Q.S. al-Anfal [8]: 12)[3]
- Proses Pewahyuan
Cara turunnya wahyu ada tiga cara:
Pertama, dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati
Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya, sehingga ia
merasakan sendiri bahwa apa yngg diterimannya itu berasal dari Allah SWT. Cara
ini disebut dengan cara Ra'yu ash-shalihah atau impian nyata diperolehnya
dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi kemudian menjadi kenyataan. Contohnya,
seperti impian Nabi Ibrahim AS ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya
menyembelih puteranya Ismail.
Kedua, menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik tabir, yakni suara
bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah gemerincingya suara
lonceng atau bel. Jadi yang dijadikan tabir menutup pendengaran para sahabat
adalah gemuruhnya bunyi lonceng, yang menghalangi telinga mereka mendengar
bisikan suara wahyu ayat yang diturunkan. Tetapi telinga Nabi tetap mendengar
bisikan suara wahyu itu dari tabir suara lonceng tersebut.
Ketiga, dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa
wahyu-Nya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an yang terdapat
pada ayat 193-194 surah Asyu'ara. Jadi, malaikat Jibril membacakan wahyu
ayat-ayat yang diturunkan, baik dia itu tetap dalam bentuk aslinya dalam alam
rohani, dan tubuh Nabi SAW yang melepaskan diri dari bentuk tubuh jasmani
menjadi bentuk rohani.
Wahyu
Allah SWT yang disampaikan langsung kepada manusia, dapat dalam bentuk ilham
atau isyarat ke dalam hati, dapat pula lewat mimpi.[4]
1. Wahyu
dalam bentuk ilham
a. Wahyu
kepada Ibunda Nabi Musa
b. Wahyu
kepada kaum Hawari
c. Wahyu
kepada Lukman
2. Wahyu
dalam bentuk mimpi
a. Perintah
kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya, Ismail
b. Isyarat
dengan symbol-simbol yang disampaikan kepada Nabi Yusuf
c. Isyarat
mimpi kepada penghuni penjara yang ditakwil Nabi Yusuf
d.
Isyarat mimpi kepada raja Mesir yang kemudian
ditakwil oleh Nabi Yusuf
Pewahyuan al-Qur’an
Kita tahu hampir semua agama besar di dunia, khususnya yang sering di
sebut “agama semitik” (yudaisme, kristianisme, dan islam) yang memang di
sebabkan latar belakang sejarah dan masab yang sama, secara fundamental
bertumpu pada wahyu dan seorang nabi untuk menegaskan eksistensinya baik secara
ontologis maupun legalistiknya. Dalam islam sendiri, wahyu menjadi salah satu
dari tiga pilar utama epistemologi dalam islam sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam hal yang menyangkut konsep dan detail tentang “Wahyu” dan “Nabi”, terkait
dan tidak dapat di pisahkan karena itu, jibril yang di tugaskan sebagai
malaikat pembawa wahyu, turun kepada para Nabi Muhammad SAW menyampaikan
risalah illahi dan ajaran-ajarannya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih detail maka penulis akan
memaparkan bagaimana konsep wahyu dan pewahyuan dalam pandangan beberapa ulama
klasik dan kontemporer.
a.
Pewahyuan al-Qur’an dalam kajian ulama’ klasik
Pandangan klasik dalam hal ini diwakili oleh al-Zarkasyi dengan karya
monumentalnya al-Burhan fi ulum al-Qur’an dan al-Suyuti dengan karyanya
al-Itqan fi ulum al-Qur’an, kedua tokoh penulis ambil menjadi wakil dari
pemikiran klasik dalam bidang ulum al-Qur’an di karenakan mereka merupakan
founding father dalam bidang tersebut yang menggambarkan prestasi ulama klasik
dalam bidang ulum al-Qur’an.
Al-Zarkasyi dalam karyanya memberikan pembahasan seputar turunnya
al-Qur’an, mengenai turunnya al-Qur’an Lauh al-mahfudz sampai kepada baginda
rasulullah SAW. Dalam hal ini ia menjelaskan ada 3 cara pewahyuan al qur’an:
pertama, pada malam lailatur qadr Allah swt menurunkan Al-Qur’an sekaligus
(anzalahu) dari lauh al mahfudz ke baitul izzah yang berada di langit dunia
(sama’ ad-dunya) secara lengkap dan dalam satu waktu, kemudian setelah itu baru
menurunkannya (wanazalahu) kepada nabi secara bertahap. Kedua, Al-Qur’an di
turunkan pada langit dunia pada malam lailatul qadr dan di turunkan secara
bertahap kepada nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini setiap tahun yakni pada
setiap malam lailatul qadr Allah SWT menurunkannya sesuai kebutuhan dan
tuntutan tahun tersebut. Dan adapun yang ketiga, yakni Allah SWT menjadikan
malam lailatul qadr sebagai awal di mulai turunnya Al-Qur’an yang kemudian
setelah itu Al-Qur’an di turunkan pada waktu yang berbeda-beda.
b.
Pewahyuan Al-Qur’an dalam kajian ulama’
kontemporer
Dalam pembahasan ini, kami akan menguiraikan pendapat Al-Zarqani, Fazlur
Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, yang menurut kami mewakili pemikiran modern
terhadap kajian Al-Qur’an terutama mengenai wahyu, ketiga tokjoh ini paling
tidak dalam karya mereka yang paling banyak menyinggung dan mengupas pembahasan
terkait dengan wahyu. Menurut Al Zarqani pewahyuan Al-Qur’an terjadi dalam tiga
tahapan: pertama, Al - Qur’an di turunkan ke lauh al mahfudz dengan cara hanya
bisa di pahami oleh Allah SWT dan orang yang di beri akses untuk mengetahui
wilayah itu, Pewahyuan seperti ini adalah pewahyuan yang secara umum. Hal ini
mengindikasikan akan adannya wahyu sebelum berada di lauh al mahfudz namun
keberadaannya masih menjadi misteri Allah SWT. Dan hanya Allah yang
mengetahuinnya. Kedua, Al-Qur’an di turunkan ke langit dunia pada malam
lailatul qadr dengan perdebatan pada masa dan lamannya di turunkan. Namun
menurut Al-Zarqani pada tahapan ini Al-Qur’an di turunkan sekaligus. Adapun
yang ketiga disini fungsi malakikat jibril yakni membawa atau memasukkan wahyu
tersebut kedalam hari baginda Rasulullah SAW.
Dalam pembahasan menegenai apa yang di bawa atau di turunkan kepada
nabi, Al -Zarqani dengan tegas mengatakan bahwa yang dibawa oleh Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata yang riil yang berpotensi sebagai
mu’jizat dan beliau menolak dengan keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad
SAW atau Malaikat Jibril lah yang memverbalisasikan Al-Qur’an kedalam bahasa
arab. Keyakinan dan ketegasan ini menurut Al-Zarqani didasarkan pada logika dan
dalil Al- Qur’an yang jelas bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang benar-benar
datang dari-Nya baik bentuk maupun makna, Al-Zarqani melanjutkan pendapatkan
sebagai sebuah penegasan bagaimana mungkin Al-Qur’an menjadi mu’jizat kalau
redaksi dan format bahasannya di buat oleh Nabi Muhammad SAW atau Malakait
Jibril? Begitulah Al Zarqani memberikan klarifikasi mengenai keontetikan dan
kemu’jizatan wahyu Allah kepada para penyanggahnya. Akan tetapi walaupun
pewahyuan kepada nabi dengan menyampaikan kata yang riil, menurut Al Zarqani tetap
melewati atau melalui cara-cara pewahyuan secara umum bagaimana yang sudah di jelaskan
oleh ulama klasik yaitu: untuk kasus pewahyuan Al-Qur’an lanjut Al Zarqani
menempuh jalan yang terakhir yakni melalui perantara Malaikat Jibril, dengan
analisa bahwa semua perintah pewahyuan itu tetap menjadi tugas dan
keikutsertaan Malaikat Jibril yang mana karena tugasnya itulah dia di
ciptakannya.
Jika tawaran pemahaman yang di tawarkan oleh Al Zarqani masih sangat
kental dengan bangunan argumentasi berdasarkan riwayat (sunnah), maka beda hal
nya dengan tawaran pemahaman dari Abu Zayd. Terkait dengan wahyu, Abu Zayd
lebih memahaminnya sebagai sebuah interaksi sosial budaya, bahwa pewahyuan itu
terjadi tidak dapat terpisahkan dengan budaya arab pada masa itu, sehingga
menjadi suatu keharusan untuk mengkaji bagaimana konteks sosial kemasyarakatan
pada masa itu.
Berangkat dari sebuah persepsi bahwa Al-Qur’an selalu terkait dengan
interaksi antara dua orang manusia dan Tuhan yang tidak dapat dipisahkan lagi
manusia dengan budayanya membuat dia kemudian lari pada sebuah kesimpulan bahwa
teks Al Qur’an terbentuk dalam sebuah realitas budaya. Dia kemudian berusaha
menelusuri bagaimana proses sebuah komunikasi yang terjadi pada masa pra-arab
antara manusia dan jin. Konsep wahyu seperti itu bisikan ghaib memiliki
keterkaitan erat dengan basis kultur bahasa yang berkembang di tengah
masyarakat arab. Menurut Abu Zayd, bahwa fenomena wahyu tidak dapat di pisahkan
dari realitas setempat, masyarakat arab sebelum Islam datang telah mengenal
model komunikasi antara manusia dengan alam-alam lain, seperti alam malaikat
dan setan atau jin. Di tengah masyarakat arab, model komunikasi ini tamoak terlihat
jelas dalam kasus sastra (puisi) dan praktik perdukunan atau yang lebih di
kenal dengan isyilah “saj’ al kuhan“ bagi orang arab jin bisa berbicara.
Kepada sastrawan (penyair) dan membisikan puisi kepadannya. Ramalan yang
ia sampaikan berbentuk ungkapan sastrawi itu bersumber dari jin. Interkasi jin
dengan manusia sebagai mana interaksi Nabi Muhammad SAW dengan malaikat jibril.
Oleh karena itu, bangsa arab yang hidup pada saat Al-Qur’an diturunkan tidak
mengingkari fenomena wahyu. Mereka membenarkan adannya malaikat yang turun
membawa kalam Allah kepada manusia. Pengingkaran mereka hanya di tunjukan pada
isi wahyu. Maka tak heran, jika mereka
mengkategorikan Al Qur’an sebagai jenis-jenis tradisi kebangsaan yang
sebelumnya sudah mapan, seperti cerita-cerita masa lalu (asathir al-awwalin),
puisi (syi’r) dan atau ucapan seorang dukun (qaul kahin).
Nasr Hamid menanggapi bagaimana sebuah komunikasi ideal diatas terjadi
pada proses pewahyuan al-qur’an, yang menurutnya proses pewahyuan harus
dipahami sebagai respon aktual terhadap persoalan-persoalan Nabi Muhammad SAW
dan masyarakat yang melingkupinya. Abu Zayid kemudian melirik dalam hal ini
adalah cara-cara pewahyuan (Kaifiyyah Al-Wahy) yang terjadi dalam kategori
komunikasi horizontal antara Nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril. Dalam
proses pewahyuan ini menurutnya yang juga mengutip pendapat Ibnu Khaldun ada
dua kemungkinan: Pertama, Nabi Muhammad SAW yang keluar dari dimensi
kemanusiaannya untuk masuk ke dunia malaikat (alam al-malakut) untuk menerima
wahyu dari malaikat Jibril transformasi yang terjadi pada Nabi seperti ini
lanjutnya dalam dunia filsafat atau sufi dikenal dengan istilah “aktivitas
imajinasi”, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat atau kekhususannya sebagai
seorang Rasulullah dibandingkan dengan manusia lainnya. Kedua, yang terkenal
dalam hadist Mashyur bahwa malaikat Jibril lah yang masuk kedunia manusia
dengan menampakkan dirinya sebagai sosok laki-laki, komunikasi ini kemudian
berlanjut dengan menggunakan “bahasa manusia” yakni bahasa Arab. Dalam
komunikasi ini terdapat dua dimensi yang berbeda dimensi Nabi Muhammad SAW
sebagai raga insaniyah dan dimensi Jibril sebagai ruh min amri rabbi, sehingga
media yang digunakan pun berbeda, dalam kondisi pertama yakni Nabi Muhammad
SAW. Mentransformasikan dirinya kealam malaikat medianya berupa simbol,
sehingga wahyu dalam komunikasi ini tarafnya mendekati ilham, adapun yang kedua
yakni ketika jibril yang masuk ke dunia. Dikatakan bahwa wahyu ialah pemberian
secara tersembunyi dan cepat yang khususnya ditunjukkan kepada orang yang
diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah penertian masdarnya. Tetapi
terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha yakni pengertian isim
maf’ul, yaitu yang diwahyukan. Selain itu, wahyu dalam perspektif bahasa (Arab)
sebelum Al-Qur’an diturunkan menunjuk pada setiap proses komunikasi yang
mengandung istilah “transfor informasi”. Dalam kamus lisan al-Arab wahyu bisa
idartikan sebagai ilham, isyarat, tulisan dan kalam. Al-Raghib menjelaskan asal
artinya al-wahy ialah al-isyarah al-tsariah, yaitu isyarat yang cepat; Amrun
Wahiyyun mengandung arti kecepatan. Adapula yang mengartikan mengisyaratkan
atau menunjukkan dengan kedipan mata atau tangan atau lainnya. Isyarat yang
cepat itu kadang-kadang dengan ucapan, tanda, lambang, atau dengan penampilan,
terkadang pula dengan suara yang sama sekali tidak tersusun, atau dengan
isyarat dengan anggota.
KESIMPULAN
Wahyu adalah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari
beberapa hamba-Nya mengenai beberapa petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak
diberitahukan-Nya tetapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia, baik dengan
perantara atau tidak dengan perantara.
Cara turunnya wahyu
ada tiga cara:
Pertama, dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati
Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya, sehingga ia
merasakan sendiri bahwa apa yangg diterimannya itu berasal dari Allah SWT.
Kedua, menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik
tabir, yakni suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah
gemerincingya suara lonceng atau bel.
Ketiga, dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa
wahyu-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, M. Alfatih. 2009.
Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis.
Yogyakarta: TERAS.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga.
Rizki, Dian. 2008. Hadis Tentang Cara-Cara Awal Mula.
Yogyakarta.
Nazmiah. 2011. Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Hisyam Ju’ait.
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar